Antisipasi dan Data Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi COVID-19 di Indonesia
Baca semua artikel tentang coronavirus (COVID-19) di sini.
Vaksinasi COVID-19 tahap pertama telah dilakukan pada kelompok tenaga kesehatan termasuk tenaga kesehatan yang berusia lanjut. Sebanyak 1.120.963 tenaga kesehatan yang mendapat suntikan pertama dan lebih dari separuhnya telah mendapatkan suntikan kedua (16/2). Selama mengamati proses tersebut, para ahli menegaskan tidak ada kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) serius yang timbul selama program vaksinasi COVID-19 ini berjalan.
Namun memasuki vaksinasi tahap 2 ini, masih banyak calon peserta vaksinasi yang mempertanyakan seputar KIPI atau efek samping vaksin COVID-19 yang saat ini menggunakan produk buatan Sinovac.
Bagaimana KIPI dalam vaksinasi COVID-19 diawasi?
KIPI vaksinasi COVID-19 di Indonesia dengan menggunakan vaksin Sinovac
Ketua Komnas KIPI, Prof. Hindra Irawan Satari Sp.A(K)., MTropPaed memaparkan data KIPI yang terjadi selama vaksinasi COVID-19 dilakukan.
“Kami menganalisis dari semua data KIPI yang masuk, umumnya (efek samping) yang muncul itu ringan seperti mual, kesulitan bernapas, kesemutan, lemas, atau berdebar. Terkadang perlu observasi sebentar dan sembuh tanpa pengobatan,” ujar Hindra dalam konferensi pers virtual Kementerian Kesehatan, Senin (22/2/2020).
KIPI adalah semua kejadian medik yang terjadi setelah imunisasi dan diduga berhubungan dengan vaksin. Jadi apapun kondisi medis yang terjadi setelah disuntik vaksin itu disebut sebagai KIPI. Namun tidak semua KIPI yang telah dilaporkan terkait dengan imunisasi atau komponen aktif yang terkandung di dalam vaksin.
Saat ini Komnas mencatat terdapat 42 KIPI serius per 1 juta vaksinasi sedangkan untuk non-serius sekitar 5 KIPI per 10.000 vaksinasi. Jumlah ini disebut ringan dan proporsional serta tidak ada perbedaan dengan KIPI vaksin Sinovac yang terjadi di negara lain.
Keluhan yang dirasakan setelah vaksinasi umumnya bersifat ringan seperti di bawah ini.
- Mual
- Kesemutan
- Lemas
- Berdebar
- Kesulitan bernapas
1,298,608
1,104,990
35,014
“Patut diperhatikan, lebih dari 64 persen itu ada yang disebut kelompok immunization stress related response, respons terkait kecemasan imunisasi. Ini terjadi lebih dari separuh laporan KIPI, baik itu mual, muntah, sesak, atau kejang,” ujar Hindra.
Pernyataan Hindra tersebut berdasarkan hasil observasi terhadap peserta vaksinasi yang mengalami KIPI serius. Peserta yang mengalami keluhan serius tersebut didiagnosis sesuai dengan gejalanya, misalnya dengan rontgen. Namun ternyata banyak kasus hasil observasi menunjukkan kondisi fisik yang normal. Menurut Hindra, itu artinya keluhan yang muncul bukan disebabkan oleh vaksinasi itu sendiri melainkan respons tubuh seseorang akibat terlalu cemas atau stres.
“Kerentanan seseorang bisa dipengaruhi oleh ketegangan misalnya setelah mendengar cerita atau melihat yang ketakutan,” jelas Hindra.
Dalam penjelasan terpisah dr. Andri SPkJ mengatakan, kabar negatif atau hoaks tentang vaksin bisa menimbulkan kecemasan. Termasuk menyebabkan gejala yang sebetulnya bukan reaksi terhadap kandungan vaksin, misalnya lemas, mual, sesak, dan hal-hal lain.
“Ketakutan luar biasa bisa membuat efek samping ringan jadi seolah-olah berat. Ini adalah aspek psikosomatik yang perlu diperhatikan,” jelas Andri dalam artikel Hoaks dan Efek Psikosomatik vaksin COVID-19.
Apakah kondisi komorbid layak menerima vaksin COVID-19?
“Vaksin COVID-19 Sinovac mengandung virus yang sudah dimatikan (inactivated virus) dengan dosis yang telah ditentukan sehingga tidak akan menimbulkan penyakit, tapi mampu merangsang tubuh untuk membentuk antibodi terhadap virus,” kata Juru bicara vaksinasi COVID-10, dr. Siti Nadia Tirmidzi. Ia menegaskan bahwa vaksin buatan Sinovac aman dan bermutu serta telah mendapatkan izin edar dari BPOM.
Vaksin ini juga telah terbukti aman diberikan kepada kelompok lanjut usia dan mereka yang memiliki penyakit penyerta dengan syarat penyakit tersebut dalam kondisi terkendali. Sebagai contoh, pasien diabetes dapat divaksin selama kadar gula dalam darahnya dalam kondisi normal.
Terkait kelayakan penerima vaksin telah dijelaskan dalam rekomendasi Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) yang dikeluarkan Selasa (9/2).
Di bawah ini merupakan kriteria mereka yang belum layak mendapatkan vaksinasi COVID-19 Sinovac.
- Memiliki reaksi alergi berupa anafilaksis dan reaksi alergi berat akibat vaksin Coronavac/Sinovac saat suntikkan dosis pertama. Individu yang memiliki riwayat anafilaksis akibat komponen tertentu yang terkandung di dalam vaksin Coronavac.
- Memiliki penyakit autoimun sistemik, seperti Systemic Lupus Erythematosus (SLE), Sjogren, Rheumatoid Arthritis, dan Vaskulitis. Khusus untuk pengidap tiroid autoimun, penyakit autoimun hematologi, dan inflammatory bowel disease (IBD) layak vaksinasi selama remisi, terkontrol, dan konsultasikan dengan dokter bidang terkait.
- Individu yang sedang mengalami infeksi akut. Jika infeksinya sudah teratasi maka dapat dilakukan vaksinasi Coronavac. Pasien TB (tuberkulosis) layak mendapatkan vaksin ini dengan syarat telah menjalani pengobatan OAT (obat anti TB) selama minimal 2 minggu.
- Individu yang menggunakan obat imunosupresan, sitostatika, dan radioterapi.
- Pengidap kanker darah, kanker tumor padat, kelainan darah seperti thalasemia, imunohematologi, hemofilia, dan gangguan koagulasi, kelayakannya ditentukan oleh dokter ahli di bidang terkait. Konsultasikan terlebih dahulu dengan dokter terkait sebelum memutuskan untuk vaksinasi.
- Penyakit kronik (seperti PPOK dan asma, penyakit jantung, penyakit metabolik, hipertensi, gangguan ginjal) yang sedang dalam kondisi akut atau belum terkendali.
Bagi individu yang berada di luar 6 kriteria di atas maka layak melakukan imunisasi vaksin COVID-19 Sinovac.
The post Antisipasi dan Data Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi COVID-19 di Indonesia appeared first on Hello Sehat.
from Hello Sehat https://ift.tt/3pU7yEi
via IFTTT
0 Response to "Antisipasi dan Data Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi COVID-19 di Indonesia"
Posting Komentar